Update

Tradisi Megengan dan Nyadran Sambut Ramadan di Kampung Budaya Polowijen

Redaksimalang.com - Pelaku seni dan budaya Kampung Budaya Polowijen bersama warga menggelar megengan dan nyadran untuk menyambut Ramadan. Tradisi dengan menampilkan sendratari itu berlangsung Jumat (28/2) sore.

Pelaku seni dan budaya khidmat menyambut Ramadan dengan sukacita meski hujan deras mengguyur kawasan Malang dan sekitarnya.

Nyadran di pesarean Mpu Topeng Ki Tjondro Suwono atau Mbah Reni, lalu megengan dengan menyuguhkan kudapan dan jajanan. Tari Beskalan Putri Malang sebagai pembuka acara menyusul tari Sekarsari dan tari topeng Ragil Kuning. Adapun penutup acara ialah tari Topeng Grebeg Sabrang.

Pada kesempatan itu. Sejarawan dan Arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menerangkan makna nyadran dan megengan.

“Saya memulainya dari istilah prepegan, di mana orang sangat ramai di pasar, di lingkungan sekitar musala dan di makam ada kegiatan menjelang puasa, yaitu megengan dan nyadran, maka suasana itu di sebut prepegan,” tegasnya.

Menurut Dwi Cahyono, megengan pada bulan Ruwah yang berarti selamatan atau kenduri. Tujuannya memohon kepada Tuhan agar mendapatkan keberkahan, kelancaran dan keselamatan selama berpuasa. Lalu, mereka saling minta maaf kepada sesama dengan membagikan kue apem dan pisang.

Sedangkan makna nyadran berupa kegiatan ke makam leluhur dengan membersihkan pesarean dan berdoa.

Dalam konteks ini, Kampung Budaya Polowijen menyambut Ramadan dengan memadukan megengan dan nyadran, sendratari, serta selamatan atau wilujengan yang penuh makna tradisi.

Penggagas Kampung Budaya Polowijen juga Ketua Pokdarwis Kota Malang, Isa Wahyudi akrab disapa Ki Demang memimpin doa. Mantra diucapkan menyatu dalam kidung Jawa, carokowalik dan kolocokro membuat suasana semakin khidmat.

“Doa yang sebenarnya memberikan makna terhadap ubo rampe, cok bakal Jawa, kembang setaman, tumpeng dan jajan pasar, termasuk apem dan pisang,” kata Ki Demang.

Kampung Budaya Polowijen melestarikan tradisi nyadran.
Kampung Budaya Polowijen melestarikan tradisi nyadran.

Prosesi Nyadran

Ritual nyadran diiringi puluhan penari yang mengarak topeng bersama warga dengan pemandu seorang dalang topeng suket, Mbah Karjo. Para penari membawa topeng, kembang setaman dan dupa menuju makam Mpu Topeng Ki Tjondro Suwono yang biasa di panggil Mbah Reni. Dalam acara itu dihadiri Kakang Mbakyu Cilik Kota Malang, yakni Ardam dan Yuki.

Mbah Karjo mengatakan dalam proses arak-arakan sejatinya menjalani laku hening menapak roso karena berjalan tidak menggunakan alas kaki.

“Kita dari tanah dan kembali ke tanah, dengan melepas alas kaki menuju ke makam, artinya kita diingatkan bahwa kelak kita kembali juga dengan tidak membawa apa-apa,” ujar pria yang bernama Samsyul Subakri, budayawan Kota Malang yang konsen di dolanan anak.

Sesampai di makam, Ki Demang mengajak anak-anak berdoa usai menerangkan sejarah topeng Malang yang sejak tahun 1880-an berasal dari berbagai desa di Kabupaten Malang, salah satunya dari Polowijen.

Seluruh topeng yang di bawa oleh anak-anak diletakkan semua di atas makam dan setelah berdoa dilakukan tabur bunga.

Ketua Umum Perempuan Bersanggul Nusantara Sany Repriandini menyatakan Kampung Budaya Polowijen konsisten menggelar megengan dan nyadran dalam tujuh tahun terakhir ini. Bila di Polowijen kemeriahan dengan mengarak topeng malang, akan tetapi di Ki Ageng Gribig menggelar arak tumpeng apem.

“Pelestarian ritual dan adat tradisi jawa seperti ini jangan sampai punah. Itu sebabnya harus dilestarikan,” tutur Sany yang komunitasnya menjadi penggerak perempuan pelestari sanggul dan kebaya yang anggotanya tersebar di berbagai kota.

Sumber: Kampung Budaya Polowijen

Posting Komentar